7 Fakta La Paiva PSK Melarat

  ISTANAGOALLOUNGE  7 Fakta La Paiva PSK Melarat Kisah La Paiva terjadi di tengah gonjang-ganjing sejarah. kala Prancis berpindah dari sistem monarki, ke republik, lalu kekaisaran, dengan segala kekacauan yang menyertai.

Kala itu, Esther Pauline Lachmann, nama aslinya, sudah bosan melarat. Ia mencoba peruntungannya di Paris, di ibu kota. Dan, sukses besar! Bahkan jauh melampaui imajinasi terliarnya.

Dari seorang pekerja seks komersial (PSK) yang nyaris tak pernah pegang duit, La Paiva menjelma jadi sosok kaya raya dan berkuasa. Ia bahkan punya pengaruh politik besar, berkat para pria yang jadi pengagumnya, salah satunya konon Kaisar Napoleon III.

Padahal, La Paiva tak cantik-cantik amat. Paling tidak menurut anggapan orang kala itu. Pinggangnya besar, jauh dari langsing. Sejumlah penulis menyebut, wajahnya agak ‘kelaki-lakian’. Namun, perempuan itu punya nyali yang luar biasa dan sesuatu yang lebih dari daya tarik fisik: ambisinya yang sungguh besar.

Berikut 7 fakta La Paiva, PSK yang berhasil merebuh hati para pria berkuasa dan mendapat gelar bangsawan, seperti di kutip dari BBC dan sejumlah sumber.

1. Nestapa Gadis Keturunan Yahudi

Esther Pauline Lachmann lahir pada 1918 di Rusia, dari orangtua berdarah Yahudi asal Polandia dan Jerman. Tanah kelahirannya itu bukan tempat yang ramah bagi keyakinannya.

Hanya karena itu juga, tak ada rumah sakit di Rusia yang sudi menangani kelahirannya.

Masa mudanya jauh dari bahagia. Tinggal di ghetto yang kumuh, terbelit kemiskinan, tak bisa, nyaris buta huruf. Semua itu gara-gara statusnya sebagai Yahudi.

Pada usia 17 tahun ia menikah dengan seorang penjahit yang sakit-sakitan akibat TBC dan melahirkan anak laki-laki. Punya suami dan anak tak membuatnya bahagia. Esther lalu minggat, meninggalkan suami tanpa cerai dan putranya yang masih butuh air susu ibunya (ASI).

Dari Rusia, ia menyeberang ke Berlin di Jerman, mampir ke Wina, Australia dan Istanbul, Turki. Paris jadi pemberhentian terakhirnya.

Tak punya bekal materi dan pengetahuan, Ester akhirnya terjebak lingkaran prostitusi,

2. PSK yang Mengalami ‘Pencerahan’

Tak jelas bagaimana Esther kemudian bisa berakhir di Paris. Yang jelas, di sana ia melacurkan diri di maison de passé, losmen murah dan mesum tempat para pekerja seks komersial (PSK) berkerumun, menanti pelanggan yang datang dan pergi silih berganti. Di Prancis ia memakai nama Therese.

Entah bagaimana ceritanya, suatu ketika, Esther alias Therese merasa dadanya bergelora, hawa hangat merayapi tubuhnya. Untuk kali pertamanya ia merasa hidup.

Ekstase itu timbul ketika ia berkenalan teori tentang kekuatan kehendak, yakni bahwa nasib seseorang bisa di ubah lewat kemauan dan kerja keras.

Lalu, tiga tahun berikutnya, ia menutup diri, jarang makan, menghemat uang. Tujuannya, untuk merencanakan langkah ke depan. Ia harus sukses, tak peduli apa pun caranya.

“Perempuan itu adalah masa laluku,” itu kesimpulan yang akhirnya di ambil. Hidupnya sebagai Esther Pauline Lachmann sudah tutup buku.

Therese memutuskan tetap menjual di rinya. Namun ia naik kelas ke tempat yang lebih bergengsi. Pelanggannya pun bukan dari kelas bawah. Tapi, untuk memuluskan ambisinya, langkah besar harus di ambil.

3. Cita-Cita: Mencari Suami Kaya

Pada 1841, saat berusia 22 tahun, Ester atau Therese pergi ke Kota Ems, Prusia, membawa koper penuh gaun malam pinjaman dan perhiasan imitasi. Ia punya tujuan besar, mencari suami kaya.

Di sana ia memikat Henri Herz, pemusik berduit yang memberinya uang dan perhiasan asli, juga membuka pergaulannya di kalangan seniman besar pada eranya.

Esther lalu kembali ke Paris, membuka tempat nongkrong yang sukses. Namun peruntungannya redup saat Herz pulang kampung ke Amerika Serikat, membawa serta putri buah cinta mereka. Hartanya lalu di gugat. Ia terbukti bukan istri sah, dan kalah.

Kemudian, London jadi tujuan berikut. Tak butuh waktu lama bagi Esther untuk memikat para aristokrat kaya di Inggris Raya. Seorang bangsawan (marquis) asal Portugis, Albino Francesco Araújo de Païva juga di buat kepincut dan akhirnya menikahinya.

Dari suami barunya itu, Esther alias Therese mendapatkan nama tenarnya: La Paiva.

Sementara itu, pada 1848 revolusi kembali pecah di Prancis. Revolusi melahirkan Republik Kedua, menumbangkan raja terakhir Louis Philippe, dan membawa Louis Napoleon Bonaparte, keponakan Napoleon Bonaparte, ke tampuk kekuasaan.

Ia menjadi presiden pertama yang di pilih atas kehendak khalayak sebelum mengkudeta republik dan mengangkat di rinya sebagai Kaisar Napoleon III.

Kondisi sosial pun berubah. Industri kian marak, kelas anyar muncul: para kapitalis dan pengusaha. Nouveaux riches, orang-orang kaya baru mengemuka.

Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan dari sang marquis, duit, juga status, dan nama besar sebagai Marquise de la Paiva, wanita itu menggugat cerai.

“Pulanglah ke Portugal, aku tetap tinggal di sini dan tetap menjadi pelacur,” tulis dia pada suaminya.

Albino Francesco Araújo de Païva yang patah hati kemudian balik ke Lisbon dan konon tewas bunuh diri.

4. PSK Mahal Bergelar Bangsawan

Saat kembali ke dunianya yang cabul, Esther alias Therese alias La Paiva bukan PSK biasa.

Status bawaan sebagai bangsawan Eropa dan pesona menjadi modal menggaet pelanggan-pelanggan tajir: para aristokrat, baron, penulis terkenal, seniman, dan orang-orang berpengaruh.

Pundi-pundi hartanya terus menumpuk. La Paiva lalu punya hobi baru, mengoleksi perhiasan mahal. Ukurannya harus besar. Permata, berlian, ia anggap sebagai ‘anak-anaknya’. Padahal darah dagingnya sendiri tak ia pedulikan.

La Paiva kemudian menjadi legenda. Harga layanan seksualnya di patok mahal. Hanya untuk kalangan berduit.

Saat kembali ke dunianya yang cabul, Esther alias Therese alias La Paiva bukan PSK biasa. Status bawaan sebagai bangsawan Eropa dan pesona menjadi modal menggaet pelanggan-pelanggan tajir: para aristokrat, baron, penulis terkenal, seniman, dan orang-orang berpengaruh.

Pundi-pundi hartanya terus menumpuk. La Paiva lalu punya hobi baru, mengoleksi perhiasan mahal. Ukurannya harus besar. Permata, berlian, ia anggap sebagai ‘anak-anaknya’. Padahal darah dagingnya sendiri tak ia pedulikan.

La Paiva kemudian menjadi legenda. Harga layanan seksualnya di patok mahal. Hanya untuk kalangan berduit.

5. Bikin Pria Terkaya di Eropa Klepek-Klepek

Entah bagaimana jalan kisahnya, mungkin karena peruntungannya yang bagus, La Paiva memikat Count Henckel von Donnersmarck, bangsawan Prusia yang usianya lebih muda 12 tahun.

Tak hanya berdarah biru, sang bangsawan adalah salah satu pria terkaya di Eropa kala itu.

Donnersmarck yang cinta mati pada La Paiva. Sebagai bukti cinta, perempuan itu dihujani hadiah mahal. Salah satunya, sebuah hotel di lokasi paling bergengsi di Paris yakni, 25, avenue des Champs-Élysées.

Sebelum diubah jadi Hôtel de la Païva, bangunan itu adalah istana dari Abad ke-16.

La Paiva menggunakan hotelnya sebagai lokasi untuk memuaskan nafsu duniawi para tamu. Pesta foya-foya paling tak bermoral digelar di sana.

Bangunan itu tak hanya megah tapi juga mewah, tangganya dilapisi emas, marmer dan onyx diimpor dari Aljazair.

Tak hanya air yang mengisi bak mandi mewah. Susu hingga sampanye dituang ke dalamnya untuk berendam. Kaisar pun jadi kagum dibuatnya.

Namun, tak ada kejayaan yang abadi di muka Bumi. Pada 1871, peruntungan La Paiva kian surut.

Perang Prancis-Rusia pecah. Perempuan itu dituduh jadi mata-mata Jerman. Di gedung opera, orang-orang yang dulu berkerumun di dekatnya beringsut menjauh. Pura-pura tak kenal.

Prancis kala itu di pihak yang kalah. Moral yang bobrok di era Kekaisaran Kedua jadi kambing hitam. Pun para PSK yang dituduh telah melemahkan negara, termasuk La Paiva.

Disudutkan, ia dan suaminya pindah ke Silesia, yang kini menjadi Polandia.

6. Layak Dipanggil Princess

Esther Lachmann, Countess Henckel von Donnersmarck, alias La Paiva meninggal pada 21 Januari 1884, di usia 64 tahun. Ia tutup usia di kediamannya yang megah di Schloss Neudeck.

Namun, jasadnya tak langsung dikuburkan. Suaminya yang patah hati tak mau berpisah dengan jenazahnya.

Tubuh tak bernyawa La Paiva dibalsem dengan cairan alkohol. Selama berbulan-bulan, duda yang merana itu menangisi pasangannya yang telah tiada.

Sang count akhirnya menikah lagi dengan perempuan lain, tapi diam-diam menyimpan jasad La Paiva di ruang rahasia.

Pada 1901, Kaisar Wilhelm menganugerahi Henckel von Donnersmarck dengan gelar Fürst, ranking tertinggi dalam kebangsawanan Jerman. La Paiva, meski sudah jadi mendiang, berhak dipanggil princess atau putri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *